ANALISIS JURNAL HUBUNGAN ANTARA USIA IBU DAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PLASENTA PREVIA DI RUMAH SAKIR UMUM CUT MEUTIA KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2012-2013 (PERDARAHAN DALAM KEHAMILAN)
ANALISIS JURNAL HUBUNGAN ANTARA
USIA IBU DAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PLASENTA PREVIA DI RUMAH SAKIR UMUM CUT
MEUTIA KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2012-2013
(PERDARAHAN DALAM KEHAMILAN)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
AKI menurut WHO dihitung dari
kematian perempuan yang terjadi selama hamil atau 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan akibat semua sebab yang terkait atau diperberat oleh kehamilan atau
penanganannya. AKI bukan disebabkan oleh kecelakaan atau cedera. Evaluasi Millenium Deveopment Goals
(MDGs)
pada tahun 2015, kasus kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia 305 per
100.000 kelahiran. Padahal target yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
adalah 102 per 100.000 kelahiran (Kompas, 2018).
Penyebab plasenta previa dapat disebabkanbeberapa
faktor antara lain umur, paritas, dan riwayat endometrium yang cacat (riwayat
SC, riwayat keguguran dan plasenta manual). Umur ibu terlalu muda atau dibawah
20 tahun dikarenakan endometrium masih belum sempurna untuk tempat perkembangnya
plasenta dan bila umur ibu diatas 35 tahun merupakan faktor resiko plasenta
previa, hal ini dikarenakan tumbuh endometrium yang kurang subur. Pada paritas
tinggi kejadian plasenta previa makin besar karena endometrium yang belum sempat
tumbuh, Riwayat abortus atau keguguran dapat menyebabkan plasenta previa karena
vaskularisasi yang berkurang dan perubahan atropi pada desidua akibat
persalinan lampau sehingga aliran darah ke plasenta tidak cukup dan memperluas
permukaannya sehingga dapat menutupi jalan lahir (Manuaba, 2010).
Angka kejadian plasenta previa beriksar 4-5 per 1000
kehamilan. Angka kejadiannya berkisar 2,8/1000 persalianan pada kehamilan
tunggal dan 3,9/1000 persalinan pada kehamilan kembar.Penelitian yang dilakukan
oleh Ristyanto di RSUP Dr Kariadi pada tahun 2000 menunjukkan angka kejadian
plasenta previa 75 dalam 2367 persalianan atau sekitar 3,16%.
Pada penugasan ini akan dibahas mengenai perdarahan
pada kehamilan yaitu plasenta previa.
B.
Tujuan
Untuk mengetahui menganalisa jurnal dan
merekomendasikan asuhan kebidanan pada jurnal plasenta previa (perdarahan dalam
kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi
pada segmen bawah rahim sedemikia rupa sehingga berdekatan atau menutupi ostium
uteri internum secara partial maupun total (Cunningham, 2013).
B.
Klasifikasi
Terdapat beberapa kemungkinan implantasi plasenta
pada plasenta previa (Cunningham, 2013):
1. Plasenta
previa totalis atau komplit: Plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri
internum
2. Plasenta
previa parsialis: Plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum
3. Plasenta
previa marginalis: Plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri
internum
4. Plasenta
letak rendah: Plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dimana tepi
plasenta berjarak < 2 cm dari ostium uteri internum. Apabila tepi plasenta
berjarak > 2 cm dari ostium uteri internum maka dianggap plasenta letak
normal
Klasifikasi lain dari
plasenta previa adalah sebagai berikut (Ngeh, 2006):
1. Tipe
I : tepi plasenta melewati batas sampai segmen bawah rahim dan berimplantasi
< 5 cm dari ostium uteri internum
2. Tipe
II : tepi plasenta mencapai pada ostium uteri internum namun tidak menutupinya
3. Tipe
III : plasenta menutupi ostium uteri internum secara asimetris
4. Tipe
IV : plasenta berada di tengah dan menutupi ostium uteri internum
5. Tipe
I dan II disebut juga sebagai plasenta previa minor sedangkan tipe III dan IV
disebut plesanta previa mayor.
C.
Etiologi
Etiologi plasenta previa belum diketahui secara
pasti, namun beberapa faktor risiko telah ditetapkan sebagai kondisi yang
berhubungan dengan terjadinya plasenta previa. Faktor risiko tersebut meliputi
hamil usia tua, multiparitas, kehamilan ganda, merokok selama masa kehamilan,
janin laki-laki, riwayat aborsi, riwayat operasi pada uterus, riwayat plasenta
previa pada kehamilan sebelumnya dan IVF (Thomson, 2011).
D.
Patogenesis
dan Patofisiologi
Penyebab plasenta melekat pada segmen bawah rahim
belum diketahui secara pasti. Ada teori menyebutkan bahwa vaskularisasi desidua
yang tidak memadahi yang mungkin diakibatkan oleh proses radang atau atrofi
dapat menyebabkan plasenta berimplantasi pada segmen bawah rahim. Plasenta yang
terlalu besar dapat tumbuh melebar ke segmen bawah rahim dan menutupi ostium
uteri internum misalnya pada kehamilan ganda, eritroblastosis dan ibu yang
merokok (Chalik, 2010).
Pada saat segmen bawah rahim terbentuk sekitar
trisemester III atau lebih awal tapak plasenta akan mengalami pelepasan dan
menyebabkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim akan mengalami
laserasi. Selain itu, laserasi plasenta juga disebabkan oleh serviks yang
mendatar dan membuka. Hal ini menyebabkan perdarahan pada tempat laserasi.
Perdarahan akan dipermudah dan diperbanyak oleh segmen bawah rahim dan serviks
yang tidak bisa berkontraksi secara adekuat (Chalik, 2010).
Pembentukan segmen bawah rahim akan berlangsung
secara progresif, hal tersebut menyebabkan terjadi laserasi dan perdarahan
berulang pada plasenta previa. Pada plasenta previa totalis perdarahan terjadi
lebih awal dalam kehamilan bila dibandingankan dengan plasenta previa parsialis
ataupun plasenta letak rendah karena pembentukan segmen bawah rahim dimulai
dari ostium uteri internum. Segmen bawah
rahim mempunyai dinding yang tipis sehingga mudah diinvasi oleh pertumbuhan
vili trofoblas yang mengakibatkan terjadinya plasenta akreta dan inkreta.
Selain itu segmen bawah rahim dan serviks mempunyai elemen otot yang sedikit
dan rapuh sehingga dapat menyebabkan perdarahan postpartum pada plasenta previa
(Chalik, 2010).
E.
Gambaran
Klinik
Setiap wanita dengan perdarahan vaginam setelah usia
kehamilan lebih dari 20 minggu harus dicurigai sebagai plasenta previa. Selain
itu dapat ditemukan perdarahan tanpa rasa nyeri, posisi abnormal dan presentasi
letak tinggi. Diagnosis klinis sangat penting untuk mencurigai dan
penatalaksanaan plasenta previa, namun diagnosis pasti tergantung dari hasil
pemeriksanaan USG (Johnston, 2011).
Perdarahan tanpa nyeri biasanya mulai terjadi pada
akhir trisemester II ke atas. Namun, perdarahan dapat terjadi sebelumnya dan
dapat mengakibatkan aborsi akibat lokasi abnormal plasenta. Pada umumnya
perdarahan akan berhenti akibat proses koagulasi dan akan berulang karena
proses pembentukan segmen bawah rahim. Pada setiap pengulangan akan terjadi
perdarahan yang lebih hebat (Chalik, 2010).
Pada plasenta previa totalis perdarahan biasanya
terjadi lebih awal. Sedangkan pada plasenta previa parsialis dan plasenta letak
rendah perdarahan terjadi mendekati atau saat persalinan dimulai (Chalik, 2010).
Pada plasenta previa jarang terjadi koagulopati
karena tempat perdarahan dekat dengan ostium uteri sehingga darah mudah
mengalir ke luar uterus dan tidak membentuk hematoma retroplasenta yang
menyebabkan kerusakan jaringan dan pelepasan tromboplastik ke dalam sirkulasi
maternal (Chalik, 2010).
F. Diagnosis
Plasenta previa dapat didiagnosis dengan melihat
gejala klinis dan pemeriksaan obstetri menggunakan USG. Pemeriksaan spekulum
dapat dilakukan untuk menilai vagina dan serviks. Vaginal toucher harus
dihindari pada semua ibu yang mengalami perdarahan antepartum sampai
terdiagnosis bukan sebagai plasenta previa (OGCCU, 2009).
Beberapa metode pemeriksaan penunjang telah
digunakan untuk mendiagnosis plasenta previa diantaranya USG transabdominal,
USG transvaginal dan MRI. Penggunaan USG transvaginal lebih direkomendasikan
karena mempunyai tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan USG
transabdominal. Terdapat beberapa kekurangan USG transabdominal yaitu
visualisasi yang kurang baik pada plasenta letak posterior dan segmen bawah
rahim akibat terhalang kepala bayi, obesitas serta keadaan kandung kemih yang
kosong atau terlalu penuh. MRI juga mempunyai tingkat akurasi yang lebih baik
bila dibandingkan dengan USG transabdominal. Namun tidak dapat memberikan
gambaran lokasi plasenta sebaik USG transvaginal, selain itu MRI tidak tersedia
pada semua pelayanan kesehatan (Oppenheimer, 2008)
.
G. Penatalaksanaan
Prinsip dasar yang harus segera dilakukan pada semua
kasus perdarahan antepartum adalah menilai kondisi ibu dan janin, melakukan
resusitasi secara tepat apabila diperlukan, apabila terdapat fetal distress dan
bayi sudah cukup matur untuk dilahirkan maka perlu dipertimbangkan untuk
terminasi kehamilan dan memberikan Imunoglobulin anti D pada semua ibu dengan
rhesus negatif (Neilson, 2008).
Penanganan ibu dengan plasenta previa simtomatik
meliputi: setelah terdiagnosis maka ibu disarankan untuk rawat inap di rumah
sakit, tersedia darah transfusi apabila dibutuhkan segera, fasilitas yang
mendukung untuk tindakan bedah sesar darurat, rencana persalianan pada minggu
ke 38 kehamilan namun apabila terdapat indikasi sebelum waktu yang telah
ditentukan maka dapat dilakukan bedah sesar saat itu juga (Neilson, 2008).
Cara pesalinan ditentukan oleh jarak antara tepi
plasenta dan ostium uteri internum dengan pemeriksaan USG transvaginal pada
minggu ke 35 kehamilan. Apabila jaraknya >20 mm persalinan pervaginam
kemungkinan besar berhasil. Apabila jarak antara tepi plasenta dengan ostium
uteri internum 0-20 mm maka besar kemungkinan dilakukan bedah sesar, namun
persalinan pervaginam masih dapat dilakukan tergantung keadaan klinis pasien (Oppenheimer,
2007).
H. Karakteristik Maternal
1. Usia
Ibu
Angka
kejadian plasenta previa meningkat seiring dengan bertambahnya usia ibu. Angka
kejadiannya yaitu 1 per 1500 pada wanita usia < 20 tahun dan 1 per 100 pada
wanita usia > 35 tahun. Pada ibu dengan usia tua akan terjadi pertumbuhan
plasenta yang abnormal karena penurunan fungsi arteri intramiometrium dan
arteri endometrium. Wanita usia > 35 tahunmemiliki risiko 1,1 kali lebih
besar untuk terjadi plasenta previa bila dibandingkan dengan wanita berusia 35
tahun. Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSUD Sragen tahun 2008
menyebutkan terdapat hubungan antara kejadian plasenta previa dengan usia ibu
hamil. Angka kejadian pada Ibu dengan usia > 35 tahun sebanyak 15 orang
(68,2 %) sedangkan pada usia 20-35 tahun adalah 7 kasus (31,8 %). Dapat
disimpulkan bahwa ibu hamil dengan usia > 35 tahun mempunyai risiko 3,5 kali
lebih besar untuk terjadinya plasenta previa (Cunningham, 2013).
2. Paritas
Paritas
tinggi berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi endometrium yang
mengakibatkan vaskularisasi desidua yang tidak memadahi sehingga menyebabkan
plasenta previa. Peluang terjadinya plasenta previa pada multipara 2,53 kali
lebih besar dibandingkan primipara (Aryanti, 2009).
3. Usia
Kehamilan saat Melahirkan
Plasenta
previa lebih sering terjadi pada awal kehamilan. Plasenta previa dapat menetap
ataupun tidak sampai aterm tergantung usia kehamilan dan lokasi plasenta. Hal
ini terjadi karena adanya proses “migrasi” plasenta. Penelitian yang dilakukan
pada 26 pasien dengan usia kehamilan rata-rata 29 minggu, plasenta terletak 20
mm dari ostium uteri dan 20 mm melalui ostium uteri hanya 3(11,5%) yang
membutuhkan bedah sesar akibat plasenta previa saat melahirkan. Apabila
plasenta yang melalui ostium uteri >20 mm setelah usia kehamilan 26 minggu
maka diperkirakan membutuhkan bedah sesar saat persalinan (Oppenheime, 2008).
Angka
kejadian plasenta previa (tepi plasenta mencapai atau menutupi ostium uteri)
pada usia kehamilan 11-14 minggu sebesar 42%, saat usia kehamilan 20-24 minggu
angka kejadiannya turun menjadi 3,9% dan hanya 1,9% saat aterm (Oppenheime,
2008).
Plasenta
previa dapat didiagnosis dengan melihat gejala klinis salah satunya berupa
perdarahan dan pemeriksaan obstetri menggunakan USG. Perdarahan terjadi karena
terlepasnya plasenta dari desidua basalis akibat kontraksi uterus dan proses
pendataran serviks yang biasanya terjadi pada akhir trisemester II ke atas. Perdarahan
inilah yang menyebabkan kasus plasenta previa sering memerlukan iatrogenic
preterm birth <34 minggu. Selain itu iatrogenic preterm birth juga dapat
terjadi akibat persalinan preterm secara spontan. Waktu rata-rata antara
diagnosis dan persalinan adalah 2 minggu (Daskalakisa, 2011)
4. Riwayat
Operasi pada Uterus
Cacat
pada uterus misalnya akibat operasi bedah sesar, kerokan dan miomektomi
berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi endometrium yang
mengakibatkan vaskularisasi desidua yang tidak memadahi sehingga menyebabkan
plasenta previa (Chalik, 2010).
Angka
kejadian plasenta previa pada kehamilan kedua dengan persalinan pervaginam saat
kehamilan pertama sebesar 4,4 per 1000 kelahiran, sedangkan dengan bedah sesar
sebesar 8,8 per 1000 kelahiran.30 Data lain menyebutkan ibu dengan riwayat
bedah sesar satu kali mempunyai risiko 2,2 kali lebih besar untuk mengalami
plasenta previa. Risiko semakin meningkat seiring dengan bertambahnya riwayat
bedah sesar yaitu 4,1 kali untuk 2 kali bedah sesar dan 22,4 kali untuk riwayat
3 kali bedah sesar (Thomson, 2011).
I. Cara Persalinan
Plasenta previa merupakan salah satu indikasi ibu
untuk dilakukan bedah sesar. Bedah sesar adalah suatu persalinan buatan, dimana
janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.
Terdapat beberapa jenis bedah sesar yaitu seksio sesarea klasik, seksio sesarea
transperitoneal profunda, seksio sesarea di ikuti dengan histerektomi, seksio
sesarea ekstraperitoneal dan seksio sesarea vaginal (Saifuddin, 2010).
Kebanyakan seksio sesarea dilaksanakan melalui
insisi melintang pada segmen bawah rahim bagian anterior terutama bila plasenta
terletak di belakang dan segmen bawah rahim telah terbentuk dengan baik.16
Sedangkan pada plasenta previa dengan insersi plasenta di dinding depan segmen
bawah rahim dilakukan seksio sesarea jenis klasik (Saifuddin, 2010).
BAB III
ANALISIS JURNAL
A.
Analisis
Jurnal
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi
pada segmen bawah rahim sedemikia rupa sehingga berdekatan atau menutupi ostium
uteri internum secara partial maupun total (Cunningham, 2013). Plasenta previa
merupakan penyebab utama perdarahan antepartum dan berpotensi mengancam hidup
ibu dan janin. Plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan
paritas tinggi dan pada usia lanjut.
Faktor risiko plasenta previa meliputi hamil usia
tua, multiparitas, kehamilan ganda, merokok selama masa kehamilan, janin
laki-laki, riwayat aborsi, riwayat operasi pada uterus, riwayat plasenta previa
pada kehamilan sebelumnya dan IVF (Thomson, 2011). Hasil penelitian Kurniawan
dan Maulina (2015) menunjukkan 40% subjek mengalami plasenta previa, 52% subjek
berusia ≥ 30 tahun, dan 48% subjek memiliki paritas ≥ 3. Analisis statistik
dengan uji chi-square menunjukkan terdapat hubungan antara usia ibu dan
plasenta previa dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05), OR =5,182(OR>1).Hasil
uji chi-square juga menunjukkan terdapat hubungan antara paritas dan plasenta
previa dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05), OR =7,000(OR>1).
Dampak plasenta previa terjadi koagulopati karena
tempat perdarahan dekat dengan ostium uteri sehingga darah mudah mengalir ke
luar uterus dan tidak membentuk hematoma retroplasenta yang menyebabkan
kerusakan jaringan dan pelepasan tromboplastik ke dalam sirkulasi maternal
(Chalik, 2010). Perdarahan pada kehamilan ini dapat menyebabkan meningkatnya
angka mobiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi. Kesimpulan penelitian yang
dilakukan oleh Kurniawan dan Maulina (2015) adalah ada hubungan antara usia ibu
dan paritas dengan kejadian plasenta previa pada kehamilan.
BAB IV
REKOMENDASI
A.
Rekomendasi
Asuhan Kebidanan
Rekomendasi untuk bidan adalah dapat mendeteksi dini
terjadinya perdarahan pada kehamilan dengan melakukan pemeriksaan menyeluruh.
Penegakkan diagnosis harus secara benar, untuk menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas. Menegakkan diagnosa dengan benar dengan serta melakukan penanganan
pasien sesuai dengan kasus yang ditemukan. Apablia terjadi kegawatdaruratan,
bidan harus melakukan penanganan kemudian melakukan rujukan segera kerumah
sakit. Kasus plasenta previa ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang berupa
USG. Plasenta previa merupakan kehamilan patologis, sehingga bidan yang bekerja
di Rumah Sakit berkolaborasi dalam penanganannya. Kehamilan dengan plasenta
previa tidak diperbolehkan dilakukan pemeriksaan dalam karena akan memperparah
perdarahan. Sehingga bidan harus mengerti betul tanda gejala plasenta previa.
Bidan juga dianjurkan untuk menambahkan pengetahuan
dan meningkatan keterampilan melalui pelatihan atau literlatur yang terpercaya.
Rekomendasi berdasarkan jurnal yang dianalisis yaitu, perlu dilakukan
penelitian mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian
plasenta previa termasuk faktor presdiposisi pada ibu.
Aryanti DR. 2009. Hubungan Usia Ibu Hamil dengan Kejadian Plasenta Previa. Program Studi
DIV Kebidanan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Cunningham, dkk. (2013). Obstetri William. Jakarta : EGC
Daskalakisa G, dkk. (2011). Impact of
Placenta Previa on Obstetric Outcome. International
Journal of Gynecology & Obstetrics Vol: 114 halaman 238-241.
Neilson J. (2007). Interventions for suspected placenta praevia (Review). The Cochrane
Collaboration
OGCCU. (2009). Antepartum haemorrhage Section B Clinical Guidelines. Australia: King Edward Memorial Hospital Perth Western
Australia
Oppenheimer L. (2008). Diagnosis and management of placenta previa.
International
Journal of Gynecology and Obstetrics Volume 103, halaman 89-94
Saifuddin. (2010). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT.Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Saifuddin. L. (2010). Ilmu Bedah Kebidanan Seksio Sesarea.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Shela Kusumaningtyas . (2018). Angka
Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia Tinggi, Riset Ungkap Sebabnya. Artikel. (Online) (https://sains.kompas.com/read/2018/03/28/203300723/angka-kematian-ibu-dan-bayi-di-indonesia-tinggi-riset-ungkap-sebabnya,
diakses pada 20 Oktober 2018)
Thomson A, Ramsay J. (2011). Antepartum Haemorrhage. RCOG Green-top
Guideline No 63 1st edition
Komentar
Posting Komentar