Makalah Patofisiologi: Sroke dan Bells Palsy
STROKE
DAN BELL’S PALSY
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Patofis dengan Judul
“Penyakit jantung Bawaaan”.
Makalah Patofis ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah “Penyakit Jantung Bawaan”
ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.
Yogyakarta,
September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………......
DAFTAR ISI………………………………………………………………....
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah………..…...………………………………...
B. Rumusan
Masalah………...…….…………………………………….
C. Tujuan…………………………..………………………………..........
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Sistem Saraf………………...………………………......
B. Fungsi Sistem Saraf...……………………………………………
C. Klasifikasi Sistem Saraf……….……………………...
D. ..………...………………………..
E. ………..…………………….
F. ...………………………………..
G. ………………………....
H. ………………………………
BAB III PENUTUP
A. Simpulan………………………………………………………………
B. Saran………………………………………………………………......
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sistem saraf
adalah pusat komunikasi dan pengambil keputusan. Sistem saraf merupakan
serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama dari
jaringan saraf. Sistem saraf merupakan salah satu sistem yang berfungsi untuk
memantau dan merespon perubahan yg terjadi di dalam dan diluar tubuh atau
lingkungan. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sistem persepsi,
perilaku dan daya ingat, serta merangsang pergerakan tubuh (Farley et all,
2014).
Sistem saraf
merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem koordinasi yang bertugas
menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke seluruh bagian tubuh, serta
memberikan respons terhadap rangsangan tersebut. Pengaturan penerima rangsangan
dilakukan oleh alat indera. Pengolah rangsangan dilakukan oleh saraf pusat yang
kemudian meneruskan untuk menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh
sistem saraf dan alat indera.
Sistem
koordinasi merupakan suatu sistem yang mengatur kerja semua sistem organ agar
dapat bekerja secara serasi. Sistem koordinasi itu bekerja untuk menerima
rangsangan, mengolahnya dan kemudian meneruskannya untuk menaggapi rangsangan.
Setiap rangsangan-rangsangan yang kita terima melalui indera kita, akan diolah
di otak. Kemudian otak akan meneruskan rangsangan tersebut ke organ yang
bersangkutan.
Pematangan
sistem saraf melibatkan banyak proses. Setelah sistem saraf terbentuk matang,
tetap terjadi modifikasi karena manusia terus belajar dari rangkaian pengalaman
yang dijalani. Sebagai contoh, tindakan membaca makalah ini sedikit banyak
mengubah aktivitas saraf otak, karena ada informasi yang diserap kedalam
ingatan pembaca.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan sistem saraf?
2.
Apa fungsi sistem saraf?
3.
Apa saja klasifikasi dari sistem saraf?
4.
Apa saja gangguang yang ada pada sistem
saraf?
5.
Apa maksud dari stroke dan bells palsy?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan sistem saraf
2.
Untuk mengetahui apa fungsi sistem saraf
3.
Untuk mengetahui klasifikasi sistem
saraf
4.
Untuk mengetahui gangguan pada sistem
saraf
5.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
stroke dan bells palsy
BAB
II
TINJAUAN TEORI
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian
Sistem Saraf
Sistem
saraf adalah pusat komunikasi dan pengambil keputusan. Sistem saraf merupakan
serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama dari
jaringan saraf. Sistem saraf merupakan salah satu sistem yang berfungsi untuk
memantau dan merespon perubahan yg terjadi di dalam dan diluar tubuh atau
lingkungan. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sistem persepsi,
perilaku dan daya ingat, serta merangsang pergerakan tubuh (Farley et all,
2014).
Sistem
saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem koordinasi yang bertugas
menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke seluruh bagian tubuh, serta
memberikan respons terhadap rangsangan tersebut. Pengaturan penerima rangsangan
dilakukan oleh alat indera. Pengolah rangsangan dilakukan oleh saraf pusat yang
kemudian meneruskan untuk menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh
sistem saraf dan alat indera.
Kemampuan
untuk dapat memahami, mempelajari, dan merespon suatu rangsangan merupakan
hasil kerja terintegrasi sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk
kepribadian dan tingkah laku individu.
Untuk
menanggapi rangsangan, ada tiga komponen yang harus dimiliki olehsistem saraf,
yaitu:
1.
Reseptor adalah alat penerima rangsangan
atau impuls. Pada
tubuh kita yang bertindak sebagai reseptor adalah organ indera.
2.
Penghantar impuls, dilakukan oleh saraf
itu sendiri. Saraf tersusun dari berkasserabut penghubung (akson). Pada serabut penghubung
terdapat sel-sel khususyang memanjang dan meluas. Sel saraf disebut neuron.
3.
Efektor, adalah bagian yang menanggapi
rangsangan yang telah diantarkan oleh penghantar impuls. Efektor yang paling
penting pada manusia adalah otot dan kelenjar.
B.
Fungsi
Sistem Saraf
Saraf
sebagai sistem koordinasi atau pengatur seluruh aktifitas tubuh manusia mempunyai
beberapa fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi, pengendali atau pengatur
kerja dan pusat pengendali tanggapan.
a. Saraf
sebagai alat komunikasi antara tubuh dan dunia di luar tubuh. Hal ini dilakukan
oleh alat indera yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Karena
ada indera, dengan mudah kita dapat mengetahui perubahan yang terjadi di luar
tubuh kita.
b. Saraf
sebagai pengendali atau pengatur kerja organ tubuh sehingga dapat bekerja
serasi sesuai dengan fungsi masing-masing. Saraf sebagai pusat
pengendali tanggapan atau reaksi tubuh terhadap perubahan keadaan di
sekitarnya. Karena saraf sebagai pengendali kerja alat tubuh maka jaringan
saraf terdapat pada seluruh alat tubuh (Syaifuddin, 2011).
C.
Klasifikasi
Sistem Saraf
Susunan saraf terdiri dari susunan saraf
sentral dan susunan saraf perifer. Susunan saraf sentral terdiri dari otak
(otak besar, otak kecil, dan batang otak) dan medula spinalis. Susunan saraf
perifer terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom (saraf simpatis dan saraf
parasimpatis) (Staff UII. 2013).
1.
Susunan Saraf Sentral
Susunan
saraf sentral terdiri dari:
a. Otak
Otak
merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh
manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Otak mengandung
hampir 98% jaringan saraf tubuh.
Otak
dibungkus oleh tiga selaput otak (meningen) dan dilindungi oleh tulang
tengkorak. Selaput otak terdiri dari tiga lapis yaitu durameter (lapisan paling
luar yang menutupi otak dan medula spinalis, serabut berwarna abu-abu yang
bersifat liat, tebal dan tidak elastis), araknoid (membran bagian tengah yang
tipis dan lembut yang menyerupai sarang laba-laba, berwarna putih karena tidak
tidak dialiri aliran darah) dan piameter (membran yang paling dalam berupa dinding
tipis dan transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah
otak).
Otak terdiri dari 3 bagian, yaitu:
1) Otak
depan (Prosoncephalon)
Otak
depan berkembang menjadi telencephalon dan diencephalon. Telencephalon
berkembang menjadi otak besar (Cerebrum). Diencephalon berkembang menjadi
thalamus, hipotamus.
a) Otak
besar (Cerebrum)
Otak
besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktivitas mental, yaitu yang
berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan
pertimbangan. Otak besar merupakan sumber dari semua kegiatan/gerakan sadar
atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak.
Pada bagian korteks otak besar yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima
rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah belakang area motor yang
berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan. Selain itu terdapat
area asosiasi yang menghubungkan area motor dan sensorik. Area ini berperan
dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat kesimpulan, dan belajar
berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut dalah bagian yang mengatur
kegiatan psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat
proses berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi.
Pusat penglihatan terdapat di bagian belakang.
Thalamus
terdiri dari sejumlah pusat syaraf dan berfungsi sebagai “tempat penerimaan
untuk sementara” sensor data dan sinyal-sinyal motorik, contohnya untuk
pengiriman data dari mata dan telinga menuju bagian yang tepat dalam korteks.
Hypothalamus berfungsi untuk mengatur
nafsu makan dan syahwat dan mengatur kepentingan biologis lainnya.
2. Otak
tengah (Mesencephalon)
Otak
tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan otak tengah
terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-kelenjar
endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus yang
mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata, dan juga merupakan pusat
pendengaran.
3. Otak
belakang (Rhombencephalon)
Otak
belakang berkembang menjadi metencephalon dan mielencephalon.Metencephalon
berkembang menjadi cerebellum dan pons varolli.Sedangkan mielencephalon berkembang
menjadi medulla oblongata.
4. Otak
kecil (serebelum)
Serebelum
mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar,
keseimbangan, dan posisi tubuh.Bila ada rangsangan yang merugikan atau
berbahaya maka gerakan sadar yang normal tidak mungkin dilaksanakan.
5. Sumsum
sambung (medulla oblongata)
Sumsum
sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari medula spinalis menuju ke
otak. Sumsum sambung juga memengaruhi jembatan, refleks fisiologi seperti detak
jantung, tekanan darah, volume dan kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan,
dan sekresi kelenjar pencernaan. Selain itu, sumsum sambung juga mengatur gerak
refleks yang lain seperti bersin, batuk, dan berkedip.
6. Jembatan
varol (pons varoli)
Jembatan
varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak kecil bagian kiri dan kanan,
juga menghubungkan otak besar dan sumsum tulang belakang..
7.
Medula Spinalis
Medula spinalis
dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral
dan bertugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer. Panjangnya rata-rata 45
cm dan menipis pada jari-jari. Fungsi medula spinalis sebagai pusat saraf
mengintegrasikan sinyal sensoris yang datang mengaktifkan keluaran motorik
secara langsung tanpa campur tangan otak (fungsi ini terlihat pada kerja
refleks spinal, untuk melindungi tubuh dari bahaya dan menjaga pemeliharaan
tubuh) dan sebagai pusat perantara antara susunan saraf tepi dan otak (susunan
saraf pusat), semua komando motorik volunter dari otak ke otot-otot tubuh yang dikomunikasikan
terlebih dahulu pada pusat motorik spinal. Pusat motorik spinal akan memproses
sinyal sebagaimana mestinya sebelum mengirimkannya ke otot. Sinyal sensoris
dari reseptor perifer ke pusat otak harus terlebih dahulu dikomunikasikan ke
pusat sensorik di medula spinalis. Medula spinalis berfungsi untuk mengadakan
komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh serta berperan dalam gerak
refleks, denyut jantung, pengatur tekanan darah, pernafasan, menelan, muntah
dan berisi pusat pengontrolan yang penting.
D.
Gangguan
Fungsi Saraf (Stroke)
1.
Definisi Stroke
Stroke
adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di
otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan
seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Ikawati, 2011).
Manifestasi
Klinik Pasien tidak dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya, karena
penurunan kemampuan kognitif atau bahasanya. Informasi perlu didapatkan dari
anggota keluarga atau saksi lain.Pasien mengalami kelemahan pada satu sisi
tubuh, ketidakmampuan berbicara, kehilangan penglihatan, vertigo, atau jatuh.
Stroke iskemik biasanya tidak menyakitkan, tapi sakit kepala dapat terjadi dan
lebih parah pada stroke pendarahan. Pasien biasanya memiliki berbagai pertanda
disfungsi sistem syaraf pada pemeriksaan fisik. Penurunan spesifik tergantung
pada daerah otak yang berpengaruh. Penurunan hemi atau monoparesis dan
hemisensori biasa terjadi. Pasien dengan sirkulasi posterior dapat mengalami
vertigo dan diplopia. Stroke sirkulasi anterior biasanya terjadi aphasia.
Pasien juga dapat mengalami dysarthria, kerusakan daerah penglihatan, dan
perubahan tingkat kesadaran (Ikawati, 2011).
Faktor
risiko stroke dibedakan menjadi 2 macam, yaitu faktor risiko yang tidak dapat
diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat
diubah meliputi usia, jenis kelamin, ras, etnik, dan genetik. Sedangkan faktor
risiko yang dapat dirubah antara lain hipertensi, penyakit jantung, Transient
Ischemic Attack (TIA), diabetes melitus, hiperkolesterol, merokok, alkohol, dan
pengggunaan obat yang bersifat adiksi (heroin, kokain, dan amfetamin), faktor
lifestyle (obesitas, aktivitas, diet dan stress), kontrasepsi oral, migrain,
dan faktor hemostatik.
Berdasarkan
klasifikasi American Heart Association, terdapat dua macam tipe stroke
(Ikawati, 2011) :
a.
Tipe
oklusif atau penyumbatan, disebut juga stroke iskemik adalah
stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan pembuluh darah.
b.
Tipe
Hemoragik atau pendarahan adalah stroke yang disebabkan karena pendarahan
intrakranial. Stroke hemoragik terdiri dari :
c.
Hemoragi
subarachnoid yaitu ketika darah memasuki daerah subarachnoid berhubungan dengan
trauma, pecahnya aneurism intrakranial, atau rupture of an arteriovenous
malformation (AVM).
d.
Hemoragi
intraserebral yaitu ketika pembuluh darah yang pecah dalam parenkim otak
membentuk sebuah hemotoma. Tipe hemoragi ini sangat sering terjadi berhubungan
dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan kadang karena pemberian
terapi antitrombotik atau trombolitik.
e.
Hematoma
subdural yaitu berkumpulnya darah di bagian bawah subdura, disebabkan umumnya
oleh trauma. Sejumlah 12% stroke adalah stroke pendarahan (hemoragik) dan termasuk
pendarahan subaraknoid, pendarahan intraserebral, dan hematoma subdural.
Pendarahan subaraknoid dapat terjadi dari
luka berat atau rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat arteriovena.
Pendarahan intrasrebral terjadi ketika pembuluh darah rusak dalam parenkim otak
menyebabkan pembentukan hematoma. Hematoma subdural kebanyakan terjadi karena
luka berat. Pada hemoragi subarachnoid (SAH), terjadi pendarahan di mana darah
memasuki daerah subraknoid, daerah yang mengelilingi otak dan spinal cord.
Penyebab utama pendarahan subaraknoid adalah
aneurisme intrakranial. Tanda klasik pendarahan subaraknoid adalah sehubungan
dengan pecahnya aneurisme yang besar, meliputi nyeri pada kepala yang hebat dan
mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual, dan muntah.
Aneurisma yang berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek
medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal.
Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius,
defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah pada suatu tempat.
Pada hemoragi intraserebral (ICH), pendarahan
terjadi secara langsung di parenkim otak. Mekanisme yang umum adalah bocornya
arteri intraserebral kecil yang rusak akibat hipertensi kronis, bleeding
diathesis, iatrogenic anticoagulation, cerebral amyloidosis, dan penyalahgunaan
kokain. Hemoragi intraserebral sering terjadi di bagian thalamus, putamen,
serebelum, dan batang otak (Batang otak merupakan sebutan untuk kesatuan dari
tiga struktur yaitu medulla oblongata, pons dan mesenfalon) . Kerusakan lokasi
tertentu di otak karena hemoragi, dapat menyebabkan lokasi sekelilingnya juga
mengalamai kerusakan akibat peningkatan tekanan intrakranial yang dihasilkan
dari efek masa hematoma (Nasisi, 2010).
Pendarahanan intraserebral umumnya terjadi
antara umur 50-75 tahun, dan sedikit perbedaan frekuensi antara dan wanita.
Beberapa diantaranya pernah mengalami infark otak atau pendarahan. Apabila
ukuran hematoma cukup kecil maka tanda dan gejala adanya pendarahan
intraserebral tidak nyata dan penderita tetap sadar. Pada pendarahan
intraserebral, pendarahan talamus di hemisfer dominan dapat menimbulkan afasia.
Prognosis bergantung pada ukuran lesi, bila lebih dari 3 cm maka biasanya
bersifat fatal. Pendarahan talamus diawali dengan contralateral hemisensory
loss.
Pada pendarahan putamen, manifestasi awal
adalah awitan yang sangat mendadak dengan hemiplegia, disertai sefalgia, muntah
dan penurunan kesadaran. Pendarahan mesenfalon relatif jarang sekali terjadi,
apabila terjadi maka muncullah paralisis okulamorius (sindrom weber). Apabila
pendarahan membesar maka tanda-tanda tadi menjadi bilateral. Terlibatnya
formasio retikularis menyebabkan koma, dan tersumbatnya akuaduktus Sylviii
menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak. Pendarahan pons
pada sebagian besar kasus, pendarahan dimulai pada batas antara pons dan
tegmentum di tingkat pertengahan pons. Pendarahan pons dicirikan oleh koma
dalam yang mendadak tanpa didahului oleh peringatan atau nyeri kepala dan
kematian dapat terjadi pada beberapa jam pertama. Pendarahan medula oblongata
merupakan pendarahan yang sangat jarang terjadi dan penderita segera meninggal
dunia. Pada pendarahan sereblum diagnosis yang segera ditegakkam merupakan hal
essensial yang harus segera dilakukan, karena tindakan operasi dapat menolong
jiwa penderita.
Gejala klinis yang umumnya timbul adalah
pendesakan pada fosa posterior dan peningkatan tekanan intrakranial.
Pada stroke hemoragi subdural, darah yang terkumpul
akibat pendarahan di bagian subdural dapat menarik air (karena osmosis) dan
menyebabkan perluasan area. Perluasan tersebut dapat menekan jaringan otak dan
menyebabkan pendarahan baru akibat robeknya pembuluh darah. Darah yang
terkumpul dapat membentuk membran yang baru (Ikawati, 2011).
Pada beberapa kondisi pendarahan subdural,
lapisan arachnoid dari selaput otak yang robek menyebabkan cairan serebrospinal
maupun darah yang ada dapat berpenetrasi ke daerah intrakranial dan
meningkatkan tekanan (Ikawati, 2011).
Stroke iskemik dapat terjadi akibat penurunan
atau berhentinya sirkulasi darah sehingga neuron-neuron tidak mendapatkan
substrat yang dibutuhkan. Efek iskemik yang cukup cepat terjadi karena otak
kekurangan pasokan glukosa (substrat energi yang utama) dan memiliki kemampuan
melakukan metabolisme anaerob.
Pada Stroke trombotik sering kali individu
mengalami satu atau lebih serangan stroke iskemik sementara atau yang disebut
Transient Ischemik Attack (TIA) sebelum mengalami stroke trombotik yang sebenarnya.
TIA adalah gangguan otak singkat yang bersifat reversible akibat hipoksia
serebral. Stroke trombotik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang
terbentuk di luar otak. Sumber utama embolus yang menyebabkan stroke adalah
jantung setelah infark miokardium atau fibrilsi atrium, dan embolus yang
merusak arteri karotis komunis atau aorta (Ikawati, 2011).
Stroke jenis ini terjadi karena adanya
penggumpalan pembuluh darah ke otak. Dari 80% kasus stroke iskemik, 50%
disumbangkan oleh stroke trombotik. Stroke iskemik trombotik disebut juga
serebral trombosis. Serebral trombosis ini diuraikan berdasarkan jenis pembuluh
darah tempat terjadinya penggumpalan, yakni trombosis pada pembuluh darah besar
dan pembuluh darah kecil.
Pada stroke iskemik embolik tidak terjadi di
pembuluh darah otak, melainkan terjadi pada pembuluh darah lain, pada jantung
misalnya. Penggumpalan darah pada jantung mengakibatkan darah tidak dapat
mengalirkan nustrisi dan oksigen untuk otak. Kelainan pada jantung ini
mengakibatkan curah jantung berkurang atau tekanan perfusi yang menurun.
Biasanya penyakit stroke jenis ini terjadi pada seseorang yang menjalani
aktivitas fisik.
2.
Gejala
Stroke
Menurut
World Health Association (WHO) gejala umum stroke antara lain mati rasa
(paresthesia) dan kelumpuhan (hemiparesis) secara tiba-tiba pada bagian lengan
kaki, wajah, yang lebih sering terjadi pada separuh bagian tubuh. Gejala lain
yang muncul antara lain bingung, kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan
(aphasia), berkurangnya fungsi penglihatan pada salah satu mata (monocular
visual loss) atau kedua mata, kesulitan dalam berjalan, pusing, kehilangan
keseimbangan atau koordinasi, sakit kepala yang parah tanpa sebab, lemah bahkan
tidak sadar.
Efek
penyakit stroke tergantung lokasi kerusakan otak dan bagaimana keparahan
tersebut mempengaruhi kondisi tersebut. Stroke yang sangat parah dapat
menyebabkan kematian (Ikawati, 2011). Tanda stroke yang dialami pasien
diantaranya (Ikawati, 2011) :
a)
Disfungsi
neurologik lebih dari satu (multiple), dan penurunan fungsi tersebut bersifat
spesifik ditentukan oleh daerah di otak yang terkena.
b)
Hemi
atau monoparesis (kelumpuhan separuh tubuh).
c)
Vertigo
dan penglihatan yang kabur (double vision), yang dapat disebabkan oleh
sirkulasi posterior yang terlibat di dalamnya.
d)
Aphasis
(kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan).
e)
Dysarthria (kesulitan menghafalkan ucapan
dengan jelas), penurunan
lapang-pandang visual, dan
perubahan tingkat kesadaran.
Jenis
stroke dapat ditentukan melalui CT scan. CT Scan merupakan cara pemeriksaan
yang penting untuk stroke. CT Scan dapat menghasilkan foto 3 dimensi otak. Pada
daerah otak yang menunjukkan stroke iskemik, otak terlihat abnormal. Tanda
pembengkakan juga terlihat. Mayoritas kejadian stroke (bahkan yang paling parah
sekalipun) tidak menunjukkan keabnormalan sampai 12-24 jam setelah onset
gejala. Selain itu CT Scan juga dapat mendeteksi pendarahan di otak, sehingga
dapat menunjukkan stroke hemoragi. Selain CT Scan terdapat beberapa alat yang
dapat mendukung antara lain MRI, Carotid Doppler (CD), Elektrokardiogram (ECG),
Echocardiography Transthoracic (TTE),
Transesophagel
echocardiography (TTE), dan Transcranial Dopller (TCD).
3.
Tatalaksana
Terapi Stroke
Tujuan utama pengobatan stroke
akut adalah (Ikawati, 2011):
ü Mengurangi luka sistem saraf yang sedang
berlangsung dan menurunkan kematian serta cacat jangka panjang.
ü Mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas
dan disfungsi sistem syaraf pusat.
ü Mencegah berulangnya stroke.
ü Pendekatan awal adalah memastikan
keseimbangan pernafasan dan bantuan jantung dan memeriksa secara cepat apakah
lesi adalah iskemik atau pendarahan berdasarkan pemantauan CT Scan.
Pasien
stroke iskemik menunjukkan beberapa jam terjadinya gejala seharusnya dievaluasi
untuk terapi reperfusi. Peningkatan tekanan darah seharusnya mengingatkan bahwa
tidak terobatinya periode akut (7 hari pertama) setelah stroke iskemik karena
risiko penurunan aliran darah ke otak dan gejala yang lebih buruk. Tekanan
darah harusnya direndahkan jika mencapai 220/120 mmHg atau terdapat bukti
pembedahan aorti, infark miokardial akut, edema pulmonari, atau encefalofati
hipersensitif. Jika tekanan darah diobati dalam fasa akut, senyawa parenteral
kerja cepat (misal: labetolol, nikardipin, nitropusid) lebih baik digunakan.
Strategi terapi dalam pengobatan stroke
didasarkan pada tipe stroke dan waktu terapi. Tipe stroke yang dialami pasien
adalah tipe iskemik atau hemoragik. Pada stroke hemoragik, terapinya tergantung
pada latar belakang setiap kasus hemoragiknya. Sedangkan pada fase akut stroke
iskemik, terapinya dilakukan dengan merestorasi aliran darah otak dengan
menghilangkan sumbatan (clots), dan menghentikan kerusakan selular yang
berkaitan dengan iskemik/hipoksia.
Waktu terapi yaitu terapi pada fase akut dan
terapi pencegahan sekunder (rehabilitasi). Pada fase akut, therapeutic window
berkisar antara 12-24 jam dengan golden period berkisar antara 3-6 jam, jika
dalam rentang waktu tersebut dapat dilakukan tindakan yang cepat dan tepat,
kemungkinan daerah di sekitar otak yang mengalami iskemik masih dapat
disebuhkan. Pada fase rehabilitasi, penggunaan obat dalam terapi umumnya
life-time (konsumsi seumur hidup) (Ikawati, 2011).
4.
Terapi
Non Farmakologi
Pada
stroke iskemik akut, penanganan operasi terbatas. Operasi dekompresi dapat
menyelamatkan hidup dalam kasus pembengkakan signifikan yang berhubungan dengan
infark serebral. Pendekatan interdisipliner untuk penanganan stroke yang
mencakup rehabilitasi awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian stroke dan
terjadinya stroke berulang pada pasien tertentu. Pembesaran karotid dapat
efektif dalam pengurangan risiko stroke berulang pada pasien komplikasi
berisiko tinggi selama endarterektomi.
Pendarahan
subaraknoid disebabkan oleh rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat
intravena, operasi untuk memotong atau memindahkan pembuluh darah yang
abnormal, penting untuk mengurangi kematian dari pendarahan.
Keuntungan
operasi tidak didokumentasikan dengan baik dalam kas pendarahan interaserebral
primer. Pada pasien hematomas intraserebral, insersi pada saluran pembuluh darah dengan pemantauan
atau tekanan intrakranial umum dilakukan. Operasi dekompresi hematoma masih
diperdebatkan sebagai penyelamat terakhir dalam kondisi terancam.
Terapi
Non farmakologi yang dapat diberikan untuk stroke iskemik adalah (Ikawati,
2011):
ü Pembedahan (Surgical Intervention)
Pembedahan yang dilakukan
meliputi carotid endarterectomy,
dan pembedahan lain. Tujuan terapi pembedahan adalah mencegah kekambuhan TIA
dengan menghilangkan sumber oklusi. Carotid endarterectomy diindikasi untuk
pasien dengan stenosis lebih dari 70%.
ü Intervensi Endovaskuler Intervensi
endovaskuler terdiri dari : angioplasty and stenting, mechanical clot
disruption dan clot extraction. Tujuan dari intervensi endovaskuler adalah
meghilangkan trombus dari arteri intrakranial. Terapi Non Farmakologi yang
dapat diberikan untuk stroke hemoragik adalah pembedahan (surgical
intervention). Contoh pembedahan adalah carotid endarterectomy dan carotid
stenting. Pembedahan hanya efektif bila lokasi pendarahan dekat dengan
permukaan otak (Ikawati, 2011).
5.
Terapi
farmakologi
1)
Stroke
Iskemik
Pendekatan
terapi pada stroke akut adalah menghilangkan sumbatan pada aliran darah
menggunakan obat-obatan. Tujuan dari terapi stroke akut adalah mengurangi
terjadinya luka neurologi, mortalitas, dan kelumpuhan dalam jangka panjang,
mencegah komplikasi sekunder dan disfungsi neurologi serta mencegah terjadinya
stroke kambuhan.
2)
Terapi
Suportif dan Terapi Komplikasi Akut
Pendekatan
terapi pada fase akut, difokuskan pada restortasi aliran darah otak dan
menghenntikan kerusakan selular yang berkaitan dengan iskemik. Berdasarkan
model stroke pada hewan percobaan, periode waktu ini (baca therapeutic window)
berkisar antara 12-24 jam, walaupun secara khusus ditekankan antara 3-6 jam. Berikut
merupakan terapi supportif dan terapi komplikasi akut (Ikawati, 2011) :
ü Pernafasan, ventilatory support dan
suplementsi oksigen. Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah hipoksia dan
potensi yang dapat memperburuk kerusakan otak. Terapi ini dapat dilakukan
dengan menggunakan elective intubation dan endotracheal intubation. Pemantaun
temperatur. Apabila temperatur tubuh pasien tinggi, diperlakukan terapi yang
dapat menurunkan secara akurat yang diperkirakan dapat meningkatkan prognosis
pasien. Obat yang berperan antara lain, aspirin, ibuprofen dan parasetamol.
ü Terapi dan pemantaun fungsi jantung.
Pemantauan fungsi jantung diperlukan untuk mendeteksi ada tidaknya atrial
fibrilasi yang paling tidak diperiksa 24 jam pertama. Apabila ditemukan adanya
aritmia yang serius, perlu dilakukan terapi.
ü Pemantaun tekanan darah arteri (hipertensi
atau hipotensi). Tekanan darah merupakan faktor risiko, sehingga penting
dilakukan pemantauan tekanan darah pasien. Apabila tekanan darah pasien terlalu
rendah (<100/70mmHg), diperlukan pemberian cairan normal saline. Pemberian
vasopressor (seperti dopamin) dopamin dapat dilakukan apabila normal saline
kurang adekuat. Tekanan darah pasien yang tinggi perlu diterapi dengan obat
antihipertensi.
ü Pemantaun kadar gula darah (hipoglikemia atau
hiperglikemia). Tujuan dilakukan adalah mencapai kadar gula darah yang
diinginkan. Pada kondisi hiperglikemia, pasien diterapi dengan insulin atau
obat yang lain (target terapi 80-140) untuk mengurangi risiko perkembangan
stroke iskemik menjadi hemoragik, sedangkan pada kondisi hipoglikemia, pasien
perlu diterapi untuk mencegah terkacaunya tanda-tanda stroke iskemik dan
mencegah kerusakan otak yang lain.
3)
Terapi
Antiplatelet
Terapi
antiplatelet bertujuan untuk meningkatkan kecepatan rekanalisasi spontan dan
perbaikan mikrovaskuler. Agen antiplatelet dapat diberikan melalui oral maupun
intravena. Pemberian agen antiplatelet oral dapat diberikan secara tunggal
maupun kombinasi (Ikawati, 2011).
4)
Terapi
Antikoagulan
Antikoagulan
digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat pembentukan
fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Atas dasar ini antikoagulan dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
ü Antikoagulan yang bekerja langsung
ü antikoagulan yang bekerja tidak langsung,
yang terdiri dari derivat kumarin misalnya ; dikumarol dan warfarin
6.
Patofisiologi
Otak
mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi , dengan berat hanya 2% dari berat
badan, menggunakan 20% oksigen total dari 20%. Secara umum,
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan
terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu
arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri
tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang
memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu
dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi
otak.
Patologinya dapat berupa: (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu
sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh,
atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah,
misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat
bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh
ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang
subaraknoid.
E.
Gangguan
Fungsi Saraf (Bell’s Palsy)
1. Definisi
Bell’s Palsy
Bell’s
palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses nonsupuratif,
non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema
jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan. Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab
dapat meliputi iskemia vascular, penyakit virus (herpes simplek, herpes
zoster), penyakit autoimun atau kombinasi semua faktor (Ikawati, 2011).
2. Etiologi
a. Teori Ischemia Vaskuler
Teori
ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan sirkulasi darah ke saraf fasialis.
Kondisi Lingkungan dingin, sering terkena angin malam, terpapar kipas angin dan
AC, diperkirakan membuat pembuluh darah ke saraf fasialis tersebut menyempit
atau vasospasme. Penyempitan itu mengakibatkan iskemia atau berkurangnya suplai
oksigen, sehingga terjadi kelumpuhan.
b. Teori Infeksi Virus
Beberapa
ahli menyatakan penyebab Bell’s palsy berupa virus herpes yang membuat saraf
menjadi bengkak akibat infeksi.
c. Teori Herediter
Teori
ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy bisa disebabkan karena keturunan, dimana
kelainannya berupa kanalis fasialis yang sempit dan system enzim.
3.
Tanda
dan Gejala Klinis
Pada
pasien Bell’s palsy, tanda dan gejala klinisnya yang timbul pada sisi wajah
ipsilateral seperti kelemahan otot wajah, kerutan dahi mengilang ipsilateral,
tampak seperti orang letih, tidak mampu atau sulit mengedipkan mata, hidung
terasa kaku, sulit bicara, sulit makan dan minum, sensitif terhadap suara
(hiperakusis, salivasi yang berlebihan atau berkurang, pembengkakan wajah,
berkurang atau hilanganya rasa kecap, nyeri didalam atau disekitar telinga, dan
air liur sering keluar. Adapun gejala pada mata ipsilateral yaitu: sulit atau tidak
mampu menutup mata ipsilateral, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak
mata bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya.
4.
Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi pada Bell’s
palsy, antara lain:
a.
Sindroma
air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)
Sindroma
air mata buaya merupakan gejala tersebut pertama timbul karena konyungtiva
bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah
mendapat iritasi angin, debu dan sebagainya.
b.
Kontraktur
otot wajah
Hal ini
dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas
terlihat dibanding pada sisi yang sehat (Lumbantobing, 2012).
c.
Synkenesis
(associated movement)
Dalam
hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan satu persatu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot
obicularis orispun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila disuruh
mengembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat (Lumbantobing, 2012).
d.
Spasme
spontan
Dalam
hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini
disebut juga tic fasialis. Akan tetapi, tidak semua ticfasialis merupakan
gejala sisa dari bell’s palsy (Lumbantobing, 2012).
5.
Patofisiologi
Para
ahli menyebutkan bahwa Bell’s palsy terjadinya di akibatkan dari proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang
temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis
yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi.
BAB III
GAMBARAN KASUS
A.
STROKE
Data Subjektif:
Ny. A adalah ibu berusia 34 tahun, sedang hamil anak
pertama, datang ke BPS mengeluh saat bangun tidur sudah merasakan lumpuh di
sisi sebelah kiri dan tidak bisa berjalan.
Data Objektif:
Hasil pemeriksaan
didapatkan keadaan umum baik, kesadaran umum composmentis, TTV masih dibatas
normal, bagian tubuh sebelah kiri mengalami kelumpuhan, jari tangan tidak dapat
bergerak.
Analisa
Ny. A usia 34 tahun
G1P0A0AH0 dengan stroke pada kehamilan.
Penatalaksanaan
1.
Memberitahukan hasil pemeriksaan pada
pasien
2.
Menjelaskan hal apa yang sedang terjadi
pada ibu
3.
Meminta ibu untuk tenang terus berdoa
dan semangat
4.
Meminta keluarga untuk selalu mensuport
ibu
5.
Melakukan rujukan ke rumah sakit agar
ibu mendapatkan terapi untuk penyembuhan atau tindakan lebih lanjut.
6.
Melakukan pendokumentasian
B.
BELL’S
PALSY
Data Subjektif
By. B usia 15 bulan,
datang ke BPS, ibu mengatakan saat bangun tidur By. B tidak bisa membuka mata kanannya,
dan sebagian mulutya terus membuka.
Data Objektif
Hasil pemeriksaan
didapatkan keadaan umum baik, kesadaran umum composmentis, TTV masih dibatas
normal, bagian mata kanan tertutup, dan sebagian mulut terbuka.
Analisa
By. B usia 15 bulan
dengan Bells Palsy
Penatalaksanaan
1.
Memberitahukan hasil pemeriksaan pada
ibu
2.
Menjelaskan hal apa yang sedang terjadi
pada anaknya
3.
Meminta ibu untuk terus berdoa dan
semangat agar anaknya dapat sembuh normal kembali
4.
Melakukan rujukan ke rumah sakit agar
anak mendapatkan terapi untuk penyembuhan (terapi latihan wajah) atau tindakan
lebih lanjut.
5.
Melakukan pendokumentasian
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem saraf adalah pusat komunikasi dan pengambil keputusan.
Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta
terdiri terutama dari jaringan saraf. Sistem saraf merupakan salah satu sistem
yang berfungsi untuk memantau dan merespon perubahan yg terjadi di dalam dan
diluar tubuh atau lingkungan. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai
sistem persepsi, perilaku dan daya ingat, serta merangsang pergerakan tubuh
(Farley et all, 2014).
Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem
koordinasi yang bertugas menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke
seluruh bagian tubuh, serta memberikan respons terhadap rangsangan tersebut.
Pengaturan penerima rangsangan dilakukan oleh alat indera. Pengolah rangsangan
dilakukan oleh saraf pusat yang kemudian meneruskan untuk menanggapi rangsangan
yang datang dilakukan oleh sistem saraf dan alat indera.
Sistem saraf mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai alat
komunikasi, pengendali atau pengatur kerja dan pusat pengendali tanggapan.
Oleh karna itu jika terjadi gangguan pada sistem saraf maka
alat komunikasi yang dilakukan oleh alat indera yang meliputi mata, hidung,
telinga, lidah, dan kulit akan terganggu, begitu juga dengan fungsi lain sistem
saraf untuk pengendali dan pengatur kerja, jika sistem saraf terganggu maka
tubuh tidak dapat menanggapi atau bereaksi terhadap perubahan keadaan di
sekitarnya dimana jaringan saraf terdapat pada seluruh tubuh yang berguna unuk
mengendalikan tubuh.
B. Saran
Dengan adanya pembuatan makalah
ini, kelompok mengharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya para tenaga
kesehatan untuk menambah wawasan dalam menangani masalah kesehatan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Chamidah.
2013. Materi Kuliah Neurologi.
(Internet). Yogyakarta: UNY. Tersedia Dalam
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132326899/pendidikan/
materi+kuliah+neurologi+2013.pdf (Diakses 22 September 2017)
Farley, A. et al. (2014). Nervous system:
part 1 vol 28 no. 31. Diunduh 19. November2014.
http:emedicine.medscape.com/article/793821-overview
(Diakses 1 Oktober 2018)
Ikawati, Z.,
2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Laporan Kasus
Bells Palsy laporan. 2016. https://www.scribd.com/doc/309775630/Laporan-Kasus-Bells-Palsy (Diakses 1
Oktober 2018)
Lumbantobing,
S.M., 2012, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental, FK UI, Jakarta, hal:
152-193.
Nasisi, D.,
2010, Stroke Hemmoragic,
Staff UII. 2013.
Anatomi Sistem Saraf. Yogyakarta:
UII. Tersedia Dalam http://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti/material/anatomisaraf.p df (Diakses 1 Oktober 2018)
Syaifuddin.
2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan dan
Kebidanan Edisi 4. Jakarta: EGC
Komentar
Posting Komentar